Kontroversi Seputar Seks Ala Swingers

Illustrasi: blog.pinpointsx.com

Segala sesuatu bisa dianggap positif bisa juga dianggap negatif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Begitu juga dengan perilaku seksual para swingers ini. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah salah satu cara untuk mempererat hubungan dengan pasangan, di sisi lain justu mengatakan sebaliknya. Kita tidak usah bicara soal dosa, kita bicara dari sudut pandang yang lain, ya!

Swingers adalah kelompok yang terdiri dari beberapa pasangan suami istri yang saling bertukar pasangan seks di dalam kelompok ini. Mereka boleh berhubungan seksual dengan siapa saja yang mereka sukai dan inginkan selama berada di dalam kelompok ini. Tentunya untuk menjadi bagian dari mereka pun ada kriterianya, juga ada persyaratannya.

Alasan utama yang sering diajukan oleh mereka yang mau melakukannya adalah untuk tetap menjaga gairah seksual setelah sekian lama menjadi suami istri. Mereka sudah melewati masa ujian soal rasa cinta karena terbukti telah bersama sekian lama. Yang mereka lakukan murni hanya untuk seks saja, sehingga tidak perlu melibatkan emosi sama sekali selain nafsu.

“Anak-anak kami sudah remaja dan kami sudah bersama belasan tahun lamanya. Kami sama-sama yakin atas cinta yang kami miliki, tidak perlu harus diragukan lagi. Kami melakukannya justru karena rasa percaya antara satu dengan yang lainnya. Kami tahu batas-batasnya. Ini murni hanya untuk memenuhi fantasi seksual kami saja.”

Oke!

Ada lagi pasangan swingers yang pernah saya wawancarai mengaku bahwa mereka melakukannya karena membuat mereka memiliki gairah kembali. Mereka jadi lebih sering melakukan hubungan seksual dan jauh lebih membara dari sebelumnya.

“Dulu kami jarang banget melakukannya. Sudah basi banget! Hingga pada akhirnya kami diajak teman dan sama-sama setuju untuk bergabung dengan kelompoknya. Sekarang kami jadi lebih sering dan tentunya membuat kami jauh lebih bahagia.”

Oh ya?!

Malah ada pasangan lainnya yang bilang bahwa lebih baik mereka melakukannya demikian sehingga tidak perlu harus selingkuh tanpa sepengetahuan mereka.

“Kalau begini, kan, saya jadi tahu dengan siapa dia melakukan hubungan seks. Tidak perlu harus berbohong dan saya juga bisa tahu pasti sampai sejauh mana mereka berhubungan.”

“Nggak cemburu?”

“Nggak, tuh!”

Duh!

Itu tadi alasan para swingers yang mau melakukannya dan hingga kini masih tetap melakukannya. Lain padang lain belalang. Saya sempat mewawancarai beberapa orang yang pernah bergabung menjadi swingers lalu menyesali dan tidak lagi mau melakukannya.

Seperti kata seorang pria yang kemudian bercerai dengan istrinya. Dia menyesal telah setuju dengan ajakan mantan istri dan sahabat istrinya itu.

“Pada awalnya saya akui memang sudah seperti mimpi yang menjadi nyata. Fantasi seksual saya selama ini adalah untuk bisa melakukannya dengan banyak perempuan dan dengan cara ini saya bisa melakukannya tanpa harus merasa bersalah. Hingga lama-lama saya merasa jijik sendiri melihat bagaimana istri saya berhubungan seks dengan pria-pria lain. Saya pun jadi merasa jijik dengan perempuan-perempuan yang mau melakukannya. Saya berhenti namun istri saya tidak mau. Akhirnya kami memutuskan untuk berpisah.”

Resiko!

Begitu juga dengan ungkapan seorang perempuan yang pada akhirnya merasa cemburu pada seorang perempuan lain di kelompok itu. Dia tidak tahan melihat suaminya berhubungan seks dengan perempuan itu, selalu saja ada cemburu di hatinya.

“Saya merasa mereka tidak hanya melakukan hubungan seks semata. Mereka sungguh sangat mesra sekali. Malah suami saya jauh lebih mesra terhadapnya dibandingkan dengan  terhadap saya yang istrinya sendiri. Saya berpisah dengannya dan perempuan itupun akhirnya bercerai dengan suaminya. Benar berarti bahwa selama ini mereka memang sudah jatuh cinta.”

Ampun!

Ada juga seorang pria yang pada akhirnya seperti tersadar dari sebuah mimpi. Dia yang tadinya senang sekali dan bahkan meminta istrinya untuk berhubungan seks dengan pria lain untuk membuatnya bergairah, justru kemudian merasa bahwa istrinya itu jadi keterlaluan karena sangat menikmatinya.

“Saya selalu bergairah menyaksikan istri saya berhubungan seks dengan pria lain. Saya yang dulu memintanya untuk mau melakukannya untuk saya. Awalnya dia tidak mau hingga akhirnya kami bergabung dengan satu kelompok swinger yang anggotanya benar-benar diseleksi. Eh, malah terus dia yang seperti orang gila. Ketagihan terus, dan bukan hanya dengan kelompok itu. Dia juga nekat melakukannya dengan pria-pria lain. Saya jadi ketakutan sendiri.”

Nah, lho!

Secara pribadi, saya tetap tidak bisa menerima alasan yang diberikan oleh para swingers ini. Mereka mau melakukannya saja buat saya itu sudah merupakan gejala yang tidak beres. Setiap orang bisa memiliki fantasi dan bahkan boleh seliar mungkin, hanya saja, bila sudah tidak mampu mengendalikan diri, tentunya ada masalah. Jikapun kemudian alasannya adalah untuk menyelesaikan masalah gairah, tentunya semua ini terlalu riskan untuk dijadikan penyelesaian masalah.

Cinta memang tidak memiliki dan cinta itu member tetapi cinta juga seharusnya bisa membuat gairah itu tetap ada tanpa harus ada alasan apapun juga. Menurut saya, alasan cinta yang mereka berikan hanyalah sebuah pembenaran saja. Banyak pasangan yang sudah terbiasa dengan pasangannya sehingga ada keterikatan antara yang satu dan lainnya dan menjadi sebuah kebutuhan. Rutinitas membuat kita menjadi terbiasa, dan inilah yang seringkali membuat keduanya tidak bisa berpisah.

Di sisi lain, rutinitas juga yang membuat keduanya jenuh dan ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Memang masuk di akal bila semua itu bisa membuat mereka semakin dekat satu dengan yang lainnya, hanya saja apakah benar mereka itu cinta? Apa tidak ada faktor lain yang membuat mereka “terpaksa” tetap harus bersama, seperti misalnya nilai-nilai dan pandangan masyarakat luar dan keluarga terhadap mereka bila berpisah?! Alasan financial juga mungkin sekali, kan?!

Rasa cemburu itu memang alamiah dan memang seharusnya bisa dikendalikan. Saya sendiri sangat tidak suka dengan rasa cemburu ataupun dicemburui tetapi ada batas-batas yang tetap harus diperhatikan mengingat kita adalah manusia. Mungkin saja kita bisa mengendalikannya tetapi pasangan kita belum tentu. Untuk apa merusak semua yang ada dan memaksakan kehendak hanya untuk memuaskan nafsu sehingga cinta yang ada itu pun hilang begitu saja?!

Ini belum termasuk faktor resiko penyakit meski para swingers ini diseleksi sebelumnya. Biar bagaimana pun yang namanya sudah bertukar pasangan apalagi bergilir ke sana ke mari, resiko itu menjadi lebih besar. Okelah tidak ada yang jajan, tetapi mulut pun bisa membawa penyakit. Apakah sudah siap menghadapi segala resikonya?!

Swingers itu pun sangat ketat dan tertutup sekali. Namun apa yang disembunyikan bisa saja terbuka bila memang dikendaki-Nya untuk dibuka. Sekarang bayangkan saja apa yang akan terjadi bila anak-anak mereka mengetahui semua ini? Saya tidak bisa membayangkan dampaknya. Iya kalau anak itu siap, bagaimana bila tidak?! Apakah anak harus dikorbankan demi yang namanya nafsu?!

Yang paling tidak bisa saya terima adalah seolah menjadi pasangan swingers adalah modern dan “berkelas”. Memang memerlukan ekstra budget untuk bisa bergabung dengan kelompok ini. Tidak murah biayanya, namun yang namanya berkelas itu memiliki harkat dan martabat yang tinggi, bukan dengan berkelompok. Itu, sih, namanya ekslusif saja. Ekslusif tidak berarti berkelas dan elit karena siapapun yang berkelompok dan membedakan diri dengan yang lain adalah ekslusif.

Sementara modern, bagi saya sama sekali tidak. Malah sangat primitif. Manusia modern adalah manusia yang memiliki pandangan luas dan bisa melihat jauh ke depan. Tidak hanya untuk sesaat atau kini saja tetapi semua perbuatan dan pemikirannya adalah untuk masa depan. Bila hanya soal trend dan penampilan saja, apanya yang modern?! Sudah disorientasi memang.

Bila yang melakukan ini semua adalah pemimpin, tokoh, dan juga panutan masyarakat, tentunya sangatlah menyedihkan sekali. Bagaimana mereka bisa menjadi seorang pemimpin, dianggap tokoh serta panutan bila perbuatan yang mereka lakukan mencerminkan bahwa betapa menyedihkannya mereka. Mana ada orang yang sakit jiwa bisa memimpin?! Mana bisa orang yang bermasalah bisa menyelesaikan masalah?! Mana ada orang yang tidak jujur bisa membawa kebenaran dan memberikan kebenaran itu sendiri?! Apa mungkin bisa membawa semua yang dipimpinnya dan yang mencontoh mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik?!

Kembali lagi semua ini adalah pilihan. Saya tidak berhak untuk melarang karena semua memiliki hak. Saya juga tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan karena setiap manusia berbeda. Bila memang benar sudah merugikan ataupun melecehkan pihak yang lainnya secara hukum baru saya bisa melakukan sesuatu secara hukum. Jika memang itu adalah keinginan diri sendiri dan bukan paksaan atau tidak ada yang memaksa, ya, tidak ada yang melanggar hukum. Kewajiban saya adalah untuk memberikan sudut pandang yang lain agar pilihan itu menjadi semakin banyak dan agar tidak salah memilih saja. Apapun yang menjadi pilihan memiliki resiko dan konsekuensinya. Yang bertanggungjawab adalah diri sendiri juga.

Yang memang menurut saya perlu dibenahi adalah pola pikir dan cara pandang serta pengertian dan pemahaman atas seks itu sendiri. Akar permasalahan dari semua ini, di mana pun juga adalah sama. Pola pikir dan cara pandang. Segala sesuatunya bisa saja dilihat dari atas apa yang terjadi namun semua yang terjadi selalu memiliki benang merahnya. Apa benang merahnya, itulah inti permasalahannya. Dari sanalah kita bisa mulai memperbaikinya.

Tidak perlu harus jauh-jauh dimulai dari orang lain dan menuding atau menyuruh serta meminta yang lainnya untuk melakukannya, tetapi mulailah dari diri sendiri dulu. Bila kita sudah bisa melihat segala sesuatunya dari semua sudut pandang yang berbeda, jujur, dan kenal apa dan siapa diri kita yang sebenarnya, itu sungguh sangat berarti bagi masa depan dan kehidupan yang lebih baik. Mau?!

Semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat bagi semua.

Salam hangat selalu,

Mariska Lubis