Memeluk Malam Merindukan Fajar

Stimulus awan cumulus bertiup mengelilingi sepanjang mata memandang. Gunung-gunung yang tinggi  pun dilahap dan ditelannya. Di kejauhan tampak sinar matahari berwarna-warni memberikan warna di batas antara. Senja itu pun datang pada menghampiri dan mengajak diri untuk memeluk malam. Meniti perjalanan dalam kehidupan bercinta yang selalu merindukan fajar.

Daun – daun bergoyang  bercerita tentang surga, senja yang bersahaja mengalun merdu bersenandung mengingatkan kita akan gelap yang menerangi hidup, sangat DIALEKTIS. “Jangan takut pada malam” kata – kata itu tiba tiba terlontar pada langit jiwa. Tubuh bergetar, hati merona merah pada hamparan hari yang akan menghantarkan langkah.

Kata membalut hasrat dan bahasa menjadi peraduannya.  Senandung irama menanamkan benih dan menebarkan pupuk kehidupan di masa mendatang. Tak perlu ada yang harus ditakutkan saat persetubuhan itu memang benar bersetubuh di dalam cinta. Meluruhkan apa yang berbeda dan berpisah itu menjadi satu yang baru yang disebut dengan KITA dan BERSAMA.  Akar yang kuat akan menghasilkan batang, daun, bunga, dan buah yang senantiasa memberikan keindahan bagi semua.

“Masih ingat saat tembakau itu hanya menjadi alasan untuk menguasai dan membuat dunia baru?!”

“Gaya hidup, pola hidup ataukah cara berpikir dan memandang?!”

“Yah, apa yang dilihat dan didengar itulah yang menjadi keyakinan sementara koin pun memiliki dua sisi.”

“Tapi apakah kita juga itu? Memiliki 2 sisi cara padang.”

“Tidak mudah menjadi manusia di antara yang harus selalu menjadi beragam sisi namun bumi ini bulat dan segala sesuatunya selalu berputar dan memiliki poros sebagai daya tarik dan gravitasinya.”

“Maka tak ada yang pasti, selain perubahan, tinggal seberapa siapkah kita menghadapinya sayang”

“Bersamamu fajar itu akan selalu datang tepat pada waktunya. Bersujud kita bersama merajut dan mewujudkan bintang.”

“Tak ada bintang yang tak dapat kita raih, selama kita berkayakinan, berdiri pada akar kita dan melangkah pada pola yang telah kita tetapkan sebagai mata angin m erajut mimpi membangun dunia, oh jangan kita terbuai oleh slogan-slogan indah atas nama kesehatan.”

“Bintang diukir di langit, semua adalah bintang dan memiliki bintang. Mimpi bukanlah mimpi bagi mereka yang percaya dan mau benar-benar memperjuangkannya. Terlalu banyak sudah pejuang pembual yang menjual dan lebih banyak lagi manusia penonton yang membelinya. Saya adalah saya dan saya adalah dirimu dan kita adalah satu.”

Terbiasa karena kebiasaan tidak berarti selalu benar. Apa yang selama ini kita anggap benar belum tentu memang benar meskipun suara keras itu bisa mengalahkan kebenaran, namun apa yang benar itulah yang seharusnya diperjuangkan. Kebenaran yang diyakini belum tentu benar kebenaran karena logika bisa memperkosa pemikiran dan masturbasi otak selalu membuat diri mencapai orgasme untuk diri sendiri. Apa yang benar dan apa yang salah menjadi abu-abu, sebuah harmoni atas kolaborasi antara kepentingan dan evolusi. Mayoritas, dominasi, ekslusifitas menjadi prioritas, disadari tidak disadari, diakui, tidak diakui.

Saat malam dan purnama, serigala melolong dan menjerit namun serigala selalu takut akan bayangannya sendiri. Serigala berbulu domba pun siap diterkam namun ada masa dan waktunya di mana yang lemah itu pun akan menjadi kuat dan bisa menerkam. Ketika semuanya  akan segera dihidangkan, siapa yang sebenarnya terhidang dan dihidangkan?!

Berteriak tentang perubahan untuk kehidupan yang lebih baik dengan menggunakan atas nama apapun juga tanpa ada dasar yang kuat, tidak akan pernah bisa memberikan sesuatu yang indah bagi masa depan. Pembodohan dan kebodohan akan terus berlanjut karena kesombongan dan rasa tinggi hati yang sesungguhnya hanyalah kepengecutan atas keberanian untuk melepaskan diri dari apa yang ada. Merdeka dengan menjadi diri sendiri sebagai manusia sejati dan seutuhnya pun hanya menjadi mimpi di siang bolong karena tiada memiliki pondasi.

Sesungguhnya apa yang diperjuangkan itu bukanlah sebuah solusi namun hanyalah sekedar jualan dari para pembual yang ingin menguasai dan mendominasi. Mematikan evolusi pemikiran untuk bisa memiliki dan merajai. Kemerdekaan itu dirampas tanpa disadari dan bahkan tak juga mau diakui. Diri yang sudah merasa “paling” tidak akan pernah menjadi lebih.  Memiliki nyali untuk berjiwa besar dan benar-benar belajar pun hanya sekedar kata tak berarti dan bermakna.

Adil dan keadilan yang dianggap dasar ternyata hanyalah sebuah usaha untuk mendapatkan pengakuan dan akuan. Sekali lagi, peradaban itu berhenti dan dihentikan. Tunjuk jari memang mudah sehingga lupa ada empat jari lainnya yang menunjuk pada diri. Tidak akan pernah ada yang bisa berubah menjadi lebih baik bila yang dikejar hanyalah sesaat dan seketika, karena hanya pemuas nafsu, apa lagi kita takut berproses . Dibutuhkan kesiapan untuk berubah dan menghadapi perubahan. Jejak masa lalu tak perlu terus ditangisi, beranikah untuk menjadikannya landasan untuk melangkah lebih harus maju lagi?! Brproses kok takut.

“Hujan pada kota penuh cinta, ada kita, hujan dan mereka. Apakah hujan menjadi batas demarkasi?! Selalu ada hitam dan putih sekalipun ada gelap yang menyelimuti. Telusurilah jalan kita.”

“Kita telah sampaikan kata, bahwa hari kita masih berjalan walau ada kelam dalam tawa dan canda, jadi hari belum berakhir , toh?”

 “Hujan adalah hidup kita, kenapa kita mengutuknya? Bersahabat sajalah, karena dengan bersahabat dengan hujan kita tahu pada siapa sebenarnya ia mengguyuri.”

“Kau ah!!! Siapa yang hidup tanpa masa lalu, saya tak peduli, bukankah hari esok lebih berarti?”

“Jalan berliku dan terasa panjang.  Kenapa tak kita buat menjadi pendek?”

“Revolusi dan evolusi, percepatan dan persiapan, pilihan dan tidak ada pilihan. Semua bisa dilakukan bila memang ada tujuan yang pasti dan ada komitmen yang bukan sekedar kata terucap.”

Kehidupan terus berjalan dan dunia terus saja berputar. Tidak ada yang bisa menghentikannya meski manusia selalu berusaha untuk bisa maju ke depan dan pada akhirnya mundur ke belakang kembali. Siapakah kita? Manusia sejatikah atau hanya manusia yang merasa manusiawi dengan pilihannya yang diyakini sebagai kodrat?!

Gumpalan itu berubah menjadi tetesan emas yang turun dari surga. Membersihkan apa yang tak Nampak dan menghapus apa yang ada sekaligus menguraikan kembali apa yang seharusnya kelihatan. Titian jalan masa lalu dan jembatan menuju masa depan serta kehidupan yang akan datang. Bersama kita selalu dalam cinta. Dari cinta, oleh cinta, untuk cinta sebagai cinta.

Salam hangat penuh cinta selalu,

Mariska Lubis dan Edysa Tarigan

30 Mei 2011, Kota Desah Pelajar

About bilikml

Saya adalah saya yang memiliki cinta untuk semua. Biarlah semua yang saya tulis menjadi ibadah, hormat, dan pengabdian kepada Yang Maha Kuasa agar berguna dan bermanfaat bagi semua yang saya cintai, Indonesia. Long lasting love for lust.... Freedom toward never ending and never last happiness.
This entry was posted in Cinta, Jiwa Merdeka, Sosial dan Politik and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment