Pemimpin Diplomasi

DI dalam persekutuan untuk mencari pemimpin ideal seperti yang sekarang ini sedang asyik diributkan di Aceh, tidak mungkin berhasil bila tidak memikirkan calon pemimpin yang memiliki kemampuan berdiplomasi untuk menyatukan visi dan fokus pada tujuan serta kepentingan bersama.

Kita semua memang cenderung untuk melupakan pahlawan yang berjuang lewat jalur diplomasi ini. Pembodohan yang telah diterapkan sekian lama membuat kita secara tidak sadar memiliki persepsi bahwa pahlawan itu haruslah mereka yang berjuang lewat jalur angkat senjata, dan melupakan betapa fatalnya sebuah perjuangan bila tidak dilakukan tanpa adanya diplomasi yang kuat. Sehingga kemudian, sosok pemimpin pun haruslah sosok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan aliran yang seolah-olah “kuat”. Kuat di luar tetapi sebenarnya lemah di dalam.

Kelemahan inilah yang sebenarnya jauh lebih berbahaya karena kecenderungan sikap manusia untuk menutupi kelemahannya dengan cara yang lebih keras lagi sangatlah dominan, terutama pada mereka yang haus akan ambisi, penuh dengan hasrat, egois, dan tinggi hati. Mereka bisa melakukan apa saja untuk menutupi kebenaran atas fakta dan kenyataan yang ada dengan cara apapun juga, terutama bila dia seorang pemimpin dan penguasa. Apa yang terjadi dengan MoU Helsinki?

Bila saja ini semua diperhatikan dan dicermati dengan baik, maka seharusnya bisa dilawan oleh mereka yang memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi dengan baik. Dengan catatan bila memiliki keyakinan penuh atas diri sendiri dan juga diyakini oleh semua pihak untuk mendukungnya.

Belajar dari sejarah di masa lampau saja, ketika masa melawan pemerintahan penjajah Belanda yang sangat keras, feudal, dan otoriter. “Politik etis” pada waktu itu merupakan hasil negosiasi sehingga menjadi peluang emas bagi putra-putri “pribumi”, secara selektif untuk belajar dan mendapatkan pendidikan maju. Para pemimpin Belanda waktu itu sebenarnya sangat berharap agar putra-putri pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Belanda akan terlepas dari masyarakatnya sendiri dan bisa mempergunakan tenaga ahli “lokal” di dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

Sangat meleset jauh dari perkiraan. Memang banyak yang menjadi pegawai dan alat penjajahan tetapi dari sinilah muncul tokoh-tokoh yang menyusun dan memimpin pergerakan untuk melawan Belanda sendiri dan juga Jepang. “Politik etis” itu pun menjadi bumerang yang mematikan.

Itulah hebatnya “taktik tiga langkah” para pemimpin terdahulu kita. Mereka berani mengambil risiko dan tidak gentar untuk melakukan diplomasi karena mereka tahu persis apa yang harus dilakukan dan juga tahu benar apa yang menjadi kelemahan lawan. Mereka sangat berani, tegas, serta memiliki pengaruh yang sangat kuat di masyarakat dan oleh karena itu pula mereka menjadi sangat disegani bahkan oleh para lawan sekalipun. Sebutlah empat nama, Teuku Nyak Arif, Teuku Cut Hasan Meuraksa, Teuku Mohammad Ali Polem, dan Teuku Mohammad Hasan Glumpang Payong.

Tokoh-tokoh ini sering bertemu dan apa yang mereka bicarakan selalu berkisar pada persoalan bagaimana mencari cara untuk mengusir penjajah dan menjadi merdeka. Walaupun mereka sadar penuh jika tidak banyak yang bisa dilakukan dan mereka seringkali terpaksa harus bekerja sama dengan penguasa. Kerjasama yang tidak selalu mulus juga tentunya.

Pada akhirnya, memang mereka menjadi korban keadaan ketika pergolakan kembali terjadi di Aceh, namun meskipun mereka tidak ada  dalam arti wujud fisik, apa yang telah mereka lakukan tidak pernah mati. Terus berlangsung dan terus ada. Lawan bisa saja menyerang tetapi apa bisa mengalahkan?

Ada sebuah catatan tercecer dari para tokoh pada masa itu, yang saya temukan. Kebetulan para tokoh itu dulu sering berkumpul di rumah keluarga saya di Kotaradja dan banyak catatan yang dibuat dan dicatat lagi kemudian oleh keluarga saya dalam bentuk buku, artikel, atau hanya sekadar coretan. Di dalam catatan tercecer itu tertulis sebuah nasihat yang isinya kurang lebih, “Bila ingin Timur merdeka maka mulailah dari Barat. Bila ingin terang maka janganlah pernah lupakan gelap. Jadilah seorang pemimpin untuk dirimu sendiri, rakyatmu, dan bangsamu. Berilah kemerdekaan dan jadilah selalu penerang.” Sangat dalam dan menjadi pegangan untuk saya sampai saat ini.

Tidak mudah memang untuk menjadi pemimpin yang piawai dalam berdiplomasi dan bernegosiasi. Wawasan yang luas, pribadi yang kuat, pola pikir dan cara pandang yang sehat dan benar, juga hati yang bersih dengan selalu mengedepankan kepentingan orang banyak tentunya menjadi syarat yang penting. Bila ada ketakutan dan kecemasan atas diri sendiri atas perilaku dan nilai yang berlaku, tentunya akan menyiutkan nyali dan keluarnya pun bisa di luar kontrol serta kendali diri. Sementara, pengendalian diri dan keberanian inilah yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin diplomasi.

Pertanyaannya, apakah mungkin masih ada yang seperti mereka semua di masa sekarang ini, meski dalam situasi dan kondisi yang berbeda dan apa yang dilawan dan diperjuangkan pun berbeda? Bagaimana dengan Barat sampai Timur? Bagaimana juga dengan “terang” dan “gelap”? Adakah keberanian untuk menjadi pemimpin yang merdeka, memberikan kemerdekaan, dan menjadi penerang?

Sekali lagi saya ingat dengan peribahasa Aceh lama yang memang saya kumpulkan, suatu kebijaksanaan harus melalui mufakat yang bulat, untuk menuju kepada suatu tujuan. Biarpun demikian,”Raja ade, Raje geuseumah, Raja laleem, Raja geusanggah”. Setiap raja yang memerintah dengan adil, bijaksana, pemurah dan jujur perlu diikuti, namun bila raja itu lalim dan bertindak sewenang-wenang dalam memerintah maka sudah seharusnya disanggah.

Mariska Lubis

Repost Serambi

Wed, Nov 3rd 2010, 08:44

About bilikml

Saya adalah saya yang memiliki cinta untuk semua. Biarlah semua yang saya tulis menjadi ibadah, hormat, dan pengabdian kepada Yang Maha Kuasa agar berguna dan bermanfaat bagi semua yang saya cintai, Indonesia. Long lasting love for lust.... Freedom toward never ending and never last happiness.
This entry was posted in Politik and tagged , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment