Seks dan Kegagalan Era Post Modern

Banyak yang bangga dan mengagungkan era post-modern, yang dianggap akan membawa perubahan terhadap kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, perubahan yang dilakukan pada akhirnya hanya bersifat fisik dan materi saja. Arti dan makna modern-nya itu sendiri bahkan hampir tidak disentuh sama sekali. Benar-benar sebuah kritikan terhadap konsep modern yang sebelumnya, di mana sebelum era ini, semua pemikiran telah ditetapkan sebelumnya oleh ideologi. Ditambah lagi dengan pemikiran bahwa “bila sudah berani menyebut diri modern bagaimana mungkin hal-hal yang kuno dan primitif dibangkitkan?”, sehingga semuanya benar-benar berubah menjadi yang baru dan yang lama benar-benar ditinggalkan.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa di era ini terjadi perubahan yang maha dahsyat di dalam bidang sains, teknologi, media massa, dan juga seni. Kebebasan untuk berekspresi sangat terbuka luas karena semua mendapatkan kesempatan untuk bisa berlomba memiliki bentuk sendiri. Segala aturan baku dan kaku yang sebelumnya ada, tidak perlu diikuti lagi. Melukis wajah orang tidak harus selalu persis sama dengan wajah orangnya, kan?! Apakah abstrak tidak berarti berseni?! Apakah harus yang realis dan naturalis saja yang dibilang seni?!

Sayangnya, era yang dimulai pada sekitar tahun 1890-an sampai dengan sekarang ini, lebih memfokuskan diri kepada perubahan infrastruktural. Teknologi berkembang dengan sangat pesat dan industri menggila, sampai dianggap sebagi era gelombang kedua dari revolusi Industri yang terjadi satu abad sebelumnya. Ini sesuai dengan keyakinan optimistik yang dibentuk oleh era ini . atas peran abstraksi dalam kehidupan manusia, di mana penekanannya pada permukaan datar tak berhias yang mirip dengan mesin. Tujuannya, sih, agar mudah diproduksi secara massal, dan dapat diproduksi serta direproduksi dengan mudah di mana-mana. Dengan demikian bisa melebur dan menjadi sebuah budaya global. Mau contoh yang paling mudah?! Mac Donald, Kentucky Fried Chicken, Coca Cola. Hmmm!!! Masih kurang?! Hollywood, Bollywood, lagu pop, sinetron. Cukup, kan?! Wajarlah bila rangkuman dari era ini disebut dengan “Estetika Mesin”.

Memang ada kerancuan di dalam konsep post-modernism itu sendiri, karena itu ada istilah post-modernism “tulen” dan “palsu”. Di mana di dalam post modernism yang tulen, memiliki tiga ciri khas yang utama, yaitu reproduksibiltas, konsumerisme, dan legitimasi. Semuanya berkaitan erat dengan tujuan yang paling utama yaitu memicu laju pertumbuhan ekonomi secara global, di mana semua ini bisa terjadi secara menyuluruh di seluruh belahan bumi ini. Sebuah formula yang sangat Marxian, yang sangat berguna untiuk memicu kecepatan perubahan pada lingkup produksi dan tradisional masyarakat. Sementara yang palsu, sebenarnya merupakan kritikan terhadap post-modernism yang dilakukan oleh mereka yang konservatif dan anti modernisasi.; yang menganggap bahwa ini semua tidak mungkin berhasil dan hanya merupakan sebuah kenihilan. Pertentangan inilah yang kemudian banyak membuat konsep dasar dari post-modernism sendiri menjadi rancu dan semu. Apa banyak di antara kita yang paham tentang konsep dasar post-modernism?!

Sebenarnya, istilah post-modernism ini sendiri memiliki akar dari kelompok lingguistik strukturalisme yang didirikan oleh seorang professor lingguistik asal Swiss bernama Ferdinand de Saussare. Professor ini melihat bahwa pada saat itu, pencarian sejarah asal usul bahasa yang dapat menyingkap makna berhenti. Sementara itu, dia menganggap bahwa makna bahasa adalah fungsi dari sebuah sistem yang kemudian terus berkembang lewat tanda-tanda, metafora, dan juga semiologi. Oleh karena bahasa yang membuat kita dapat berkomunikasi sosial, maka simbol-simbol pun bisa digunakan. Sayangnya, justru inilah yang membuat semuanya menjadi berantakan. Pola pikir menjadi sangat harafiah dan cenderung untuk diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya logis dan dianggap modern. Contohnya saja apa yang tertulis pada batu prasasti peninggalan sejarah, yang dianggap sangat primitif, tidak logis, dan sama sekali tidak modern. Nah, jadi kacau balau, deh?!

Post-modernism yang merupakan kritik atas konsep modern sebelumnya, justru malah membuat jauh dari konsep pemikiran modern itu sendiri. Arti dan makna modern menjadi lebih difokuskan kepada nilai fisik dan materi saja. Apa yang nampak canggih, itulah yang dianggap modern. Sementara itu, arti dan makna pemikiran yang modern, karena tidak tampak dan cenderung sulit untuk menjadi nyata, malah tidak muncul sama sekali. Kalaupun ada pemikiran yang benar-benar modern, malah justru yang dihilangkan karena tidak sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat secara luas. Berapa banyak orang yang memiliki pemikiran anti konsumerisme “dihapuskan” dari permukaan?!

Bahkan musik New Age yang salah satunya dipelopori oleh salah satu pemusik favorit saya, Vangelis, yang tercipta atas kejenuhan atas apa yang terjadi di era post-modern ini pun tidak luput dari industri. Mereka-mereka yang ingin menggairahkan lagi aroma spiritualisme di dalam kehidupan juga terjebak dalam komersialisasi. Mungkin bila Kitaro, Cafe Del Mar, AR Rahman, Enya, Gregorian, dan masih banyak lagi seniman new age ini tidak masuk dalam industri, saya tidak mungkin kenal dan tidak mungkin bisa menikmati hasil karya mereka yang sangat indah itu. Lagipula, sulit bagi mereka untuk bisa mendominasi papan atas musik dunia. Alasannya?! Memang tidak mudah untuk menjadi berbeda, ya!!!

Tidak berbeda dengan seks. Seks juga “dimodernisasikan” menjadi sebuah industri yang sangat komersial. Ini tidak terlepas dari perlakuan pada masa ini, di mana konsep pemikiran tentang ekonomi dan bisnis lebih terfokus pada industri. Seks yang dulu mengandung banyak sekali nilai-nilai spiritiualnya, dianggap tidak modern sama sekali dan harus diubah dalam bentuk yang baru. “Kebebasan dalam berekspresi”, judulnya. Semua boleh melakukan apa saja sesuai dengan apa yang diinginkan. Toh, di dalam seni pun, abstrak boleh mengubah daun menjadi bentuk lainnya. Justru inilah yang menjadi seninya, kan?! Mengubah dan menghilangkan bentuk aslinya adalah konsep dasar penguraian dari abstrak itu sendiri.

Berhubung sudah menjadi bagian dari industri, ya, apapun harus bisa menghasilkan sesuatu yang mudah untuk disosialisasikan dan dimasyarakatkan. Tidak bisa bersifat individual lagi karena harus bersifat massal. Jadilah kemudian seks tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral lagi, tetapi menjadi sangat massive. Kalau sudah begini, apa yang paling mudah diterima?! Nggak jauh-jauhlah dari seputar seonggok daging di belahan paha!!! Kalau urusan apa yang di dalam hati, kan, sangat relatif dan pribadi!!! Sedangkan soal kenikmatan fisik dan materi benar-benar bisa langsung dirasakan oleh semua.

Dalam perkembangannya, tidak heran bila seks kemudian menjadi sesuatu yang ditabukan. Bagaimana tidak?! Seks yang dikomersialisasikan dalam industri lebih banyak yang porno. Makanya, seks itu menjadi porno.

Saya secara pribadi, mengkritik era post-modern ini. Saya melihat bahwa era inilah yang menyebabkan kata tak lagi bermakna. Sejarah pun menjadi lenyap dan tidak memiliki arti yang sesungguhnya, bahkan sejarah itu sendiri sudah diindustrikan. Buktinya, banyak penjualan dokumen, prasasti, dan barang-barang peninggalan sejarah lainnya. Pelajaran sejarah pun dihilangkan dari kurikulum mata pelajaran. Sejarah juga bisa dimaknai sesuai dengan pesanan. Berapa banyak film dan buku-buku yang isinya sejarah palsu?! Herannya, dipercaya pula!!! Aduh!!!

Mungkin bagi para seniman, era ini justru merupakan era yang sangat luar biasa dan sangat menguntungkan sekali. Setiap seniman memiliki kebebasan untuk bisa mengekresikan dirinya dengan sebebas-bebasnya. Kalau mau bikin prosa dan puisi, tidak perlu pusing dengan urusan aturan baku lagi, kan?! Semua juga bisa bikin prosa dan puisi dengan mudahnya. Membuat bahasa baru juga mudah. Bahasa Alay, bukankah itu juga bagian dari kebebasan berekspresi?! Jangan heran, deh, kalau kemudian kita semua menjadi labil dan bingung. Memang tidak punya patokan dan pegangan. Semua tergantung keinginan masing-masing saja. Enak, ya?!

Lucunya, sekarang ini banyak yang merasa capek dan jenuh dengan kondisi dan keadaan, namun tidak juga mau belajar untuk memahami apa akar permasalahannya. Ribut soal kata yang sudah tak bermakna, tapi masih juga menulis dan membaca tanpa mau mengerti dan memahami arti serta makna dari kata yang dituliskan. Kesal dengan simbol-simbol di papan reklame tapi masih juga termakan dengan simbol-simbol yang ada. Ekspresi cinta pun hanya terbatas bunga mawar merah dan cokelat di Hari Valentine. Protes dan kritik soal kapitalisme, tetapi tetap saja tenggelam dan larut dalam komersialisasi. Semua juga dijual!!! Belanja terus sampai kartu kredit jebol!!! Terus juga mengikuti trend agar bisa dibilang modern, trendy, dan tidak ketinggalan jaman. Komentar terus soal situasi dan keadaan politik serta ekonomi negara, tapi tidak juga mau mengembalikan apa yang menjadi dasar terbentuknya negara tercinta kita ini. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 pun hanya dianggap benar-benar sebagai sejarah masa lalu yang sudah tidak up-to-date lagi. Masih ada juga yang mau memaknainya sesuai dengan pesanan. Pusing, deh!!!

Saya menganggap bahwa ini semua terjadi akibat kegagalan dari era post-modern dan saya tidak ingin semua ini terus berlanjut. Toh, era ini sendiri tidak bisa tidak dilewati. Pertanyaannya, setelah era ini, kita menuju ke mana?!

Tentunya saya ingin kita semua menuju ke era baru yang lebih baik dari sekarang. Saya ingin ada perubahan agar masa depan menjadi lebih baik. Semua yang ada dalam kehidupan ini menjadi benar-benar memiliki arti dan makna. Benar-benar juga bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan kita kini dan juga masa depan nanti.

Saya memang tidak memiliki kapasitas untuk bisa mengubah dunia ini. Saya melakukannya untuk diri sendiri dulu, di mana saya melakukannya lewat seks. Saya ingin seks kembali kepada arti dan makna yang sesungguhnya. Karena bagi saya, seks itu tak mesti porno. Seks adalah titik awal kehidupan dan kehidupan itu sendiri. Bagaimana dengan yang lain?! Yuk, kita pikirkan sama-sama!!!

Semoga bermanfaat!!!

Salam,

Mariska Lubis

29 Juni 2010

About bilikml

Saya adalah saya yang memiliki cinta untuk semua. Biarlah semua yang saya tulis menjadi ibadah, hormat, dan pengabdian kepada Yang Maha Kuasa agar berguna dan bermanfaat bagi semua yang saya cintai, Indonesia. Long lasting love for lust.... Freedom toward never ending and never last happiness.
This entry was posted in Pendidikan Sosial, Perubahan, Politik and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

7 Responses to Seks dan Kegagalan Era Post Modern

  1. hmmmm….memang tidak mudah menjadi berbeda, mbak….selalu ada gunjingan dan makian….apalagi tentang seks. tapi, mbak ML bisa membungkam itu semua, dengan sudut pandang lain tentang seks. tentang suatu etika, estetika, keindahan, seni, dan pendidikan mengenai seks. sukses selalu, mbak. arthur hanya bisa memberi support.

    salam hangat

  2. Zed says:

    Maaf, tapi saya rasa tulisan anda tulisan SAMPAH…!!!

  3. Rully says:

    Suka sama jawaban mbak ML atas pertanyaan ZED 🙂

  4. Agusto says:

    POSTMODERN tidak seperti dituliskan pada tulisan di atas. Justru apa yang penulis lakukan juga melakukan praktek postmodern.

Leave a comment