Kata Bukanlah Sampah!

Langit yang hitam menjadi kian kelam ketika kata itu tidak memiliki arti dan makna, tidak dapat diartikan dan dimaknai dengan hati dan kepala yang bebas dan terbuka lebar. Kata yang diuraikan dengan penuh cinta pun hanya dianggap sebagai sebuah keegoan, kenarsisan, kesombongan, dan kebutuhan akan eksistensi. Kata dianggap hanya kata-kata alias “omong doang” tanpa bisa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Padahal, tanpa kata, akankah dunia ini bisa terus ada perubahan?!

Tidak bisa dipungkiri bahwa menulis merupakan buah dari keegoan. Tidak ada satu pun hasil karya ataupun kreatifitas dalam semua bidang, yang dihasilkan tanpa ego pembuat dan penciptanya. Dan tentunya, semua pembuat dan penciptanya memiliki rasa bangga tersendiri atas apa yang telah dihasilkan dan dibuatnya. Meskipun dianggap “buruk” oleh yang lain, tidak mengapa. Belum tentu yang lain itu mampu membuat lebih baik atau bahkan sama sekali tidak mampu membuatnya. Meniru mungkin bisa, karena sudah ada contohnya, tapi untuk membuat yang original?! Wajarlah jika kemudian ada “kesombongan” juga, paling tidak hal ini diperlukan untuk bisa tetap percaya diri dan yakin serta terus memiliki ambisi untuk terus menghasilkan lebih banyak lagi.

Hanya saja, memang banyak juga yang suka lupa diri dan merasa “paling”, namun semua itu bisa tercermin dari hasil yang dibuatnya. Biasanya, sih, “stuck”. Tidak ada kemajuan yang lebih baik karena cuma sampai di sanalah “ilmu” yang dimilikinya. Perlu kerendahan hati untuk mau terus belajar dan belajar agar bisa menghasilkan yang lebih baik dan terus membaik. Apalagi jika sudah “dikenal” dan banyak yang memberikan puja dan puji sehingga tidak mau untuk menginjak bumi. Malah takut banget dengan daratan, terus hidup di awang-awang yang membuat diri mudah sekali dihempaskan oleh angin. Toh, yang terkenal dan “laris” belum tentu juga yang berkualitas. Logika saja, lebih banyak mana, manusia terdidik yang mengerti kualitas dan berkualitas atau “kebanyakan” dan “umum” yang lebih berorientasi pada kuantitas serta trend? Memangnya mudah untuk menjadi berkualitas, menjaga kualitas, dan tahu bagaimana yang berkualitas?!

Banyak yang berambisi menjadi “eksis”. Yang penting “eksis”, tak peduli dengan kualitas dan kemampuan diri. Tidak juga berpikir panjang atas “efek” negatif dari apa yang dilakukannya kepada semua. Bisa jadi karena memang tak mengerti juga. Berbagai usaha dan cara dilakukan untuk bisa mendapatkan eksistensi, bahkan dengan cara-cara yang tak terhormat serta yang memalukan diri sendiri. Biasanya dimulai dengan “keroyokan” atau membuat sebuah sensasi dan “mencari muka” sana sini. Tentunya, jarang ada yang berani mengakui meski sadar itu sudah dilakukan. Yah, wajarlah! Gengsi, dong, kalau ketahuan yang sebenarnya. Berapa banyak, sih, yang punya nyali?! Jadi jangan sedih kalau jadi yang “disepahkan” setelah diambil “madu”-nya oleh orang-orang seperti ini. Lebih baik, kasihanilah saja karena mereka sesungguhnya sangat “susah” dan “miskin” hati. Jika mereka “kaya” akan ilmu dan hati, juga bahagia serta merdeka, pasti tidak akan demikian, kok!

Naluri setiap manusia tidak akan pernah bisa lepas dari keinginan dan kerinduan untuk bisa selalu bersama-Nya. Banyak pemikir, ilmuwan, dan seniman yang memuja kebesaran-Nya, menghormati dan mensyukuri apa yang sudah diberikan-Nya, lalu mengekspresikannya lewat berbagai macam karya dan kerja. Selain itu, tak sedikit juga yang berusaha mengikuti apa yang sudah diajarkan oleh-Nya, yaitu dengan menyebarkan cinta-Nya lewat karya dan kerja sehingga bisa memberikan banyak arti dan manfaat sebagai pengamalan dan sujud atas segala cinta-Nya. Walaupun “bentuk”-nya berbeda-beda dan bermacam-macam tetapi berbagi karya, kerja, ilmu, dan pengetahuan bisa dianggap sebagai sebuah “kewajiban”. Oleh karena itu, juga ada selalu ada keinginan untuk terus menyebarkan dan tidak pernah berhenti belajar agar apa yang disebarkan itu semakin terisi dan berisi.

Jika pun kemudian semua itu menghasilkan eksistensi dan kemakmuran duniawi, itu tidak bisa kemudian langsung dinilai sebagai sesuatu yang buruk. Yang namanya rejeki, hanya datang dari-Nya. Kalau tidak mendapatkan semua itu, tak mengapa karena tujuannya bukan ke sana dan bukan untuk itu semua. Yang paling penting adalah sudah bisa beramal, walaupun hanya lewat karya dan kerja. Meskipun tidak “nampak” dan “nyata tetapi pasti memiliki peran dan andil tersendiri. Apa ada perubahan politik dan sejarah manusia yang tak dimulai dari “kata”? Apa ada perubahan politik dan sejarah di muka bumi ini yang tak dimulai atau yidak melibatkan “kata”?! Kata bisa mengubah dunia walaupun hanya sekedar kata yang bagi sebagian dianggap sampah!!!

Ada baiknya untuk bercermin terlebih dahulu dan merendahkan hati untuk belajar melihat segalanya dengan lebih baik sebelum menunjuk jari dan memberikan “nilai” serta hukuman. Manusia memiliki kelebihan yang luar biasa sebagai anugerah dari-Nya yaitu kemampuan untuk berpikir, menggunakan logika hati dan otak sehingga mampu untuk “mencipta”. Mengapa tidak mencoba terlebih dahulu menciptakan sesuatu dulu yang baru yang barangkali jauh lebih baik dan bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi semua. Tak perlu banyak alasan dan pembenaran jika memang tidak mau melakukannya, sebab kesempatan itu bukanlah datang semata-mata begitu saja tetapi bisa dibuat dan diciptakan bila ada niat dan usaha. Kenapa takut untuk mencoba yang baru dan mempelajarinya dahulu dengan sebaik-baiknya sebelum memberikan “nilai” dan “hukuman”.

Kata bukan hanya buah dari pemikiran dan rasa, tetapi kata juga adalah sarana untuk berpikir. Tanpa kata, manusia tidak akan pernah bisa berpikir dan keterbatasan pengertian akan arti dan maknanya membuat diri kita pun terbatas dalam berpikir dan menguraikan pemikiran. Janganlah begitu mudahnya terbawa oleh emosi, nafsu, iri, dan dengki atau apapun itu, tetapi fokus saja menjadikan kata sebagai sarana untuk berpikir. Biarkan saja mereka semua itu melakukan apa yang mau mereka lakukan dan yang mereka tuju. Yang penting kita tetap bisa berpikir jernih dan tidak mudah terbawa. Toh, kata juga merupakan cermin dari diri kita sendiri, baik itu diucapkan ataupun dituliskan. Jika memang tidak tahu, tak perlu malu untuk bertanya ataupun diam untuk merenung, berpikir dan belajar lebih banyak lagi. Semakin banyak kata yang digunakan “menyerang” dan nyaring, semakin nampak pula kekosongannya, bukan?! Semakin banyak “kepalsuan” kata, semakin juga membuat diri tak bahagia.

Paling tidak, lihatlah bagaimana Allah menurunkan kitab-kitab suci yang berisi kata-kata. Apakah sedemikian buruknya kata sehingga Allah pun sebaiknya tidak banyak berkata?! Bagaimana juga dengan para pengikutnya yang menggunakan kata-kata untuk bisa memberitakan dan menyebarkan apa yang sudah diberikan Allah?! Apakah semua itu hanya omong kosong belaka?! Manusia memang bukan Dia, tetapi salahkah bila mengikuti jejak dan ajaran-Nya untuk menulis?! Mengapa pembuktian itu harus selalu yang bisa langsung dirasakan dan nampak oleh mata saat ini?! Bukankah kita ini memiliki keterbatasan juga, sehingga ada baiknya untuk tetap rendah hati dan berjiwa besar. Lakukan saja apa yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya tanpa harus merendahkan “kata” dan mereka yang menulis ataupun hanya mampu menggunakan kata untuk berbuat. Bahagiakanlah dan merdekakanlah hati, pikiran, dan jiwa terlebih dulu, ya!

Salam hangat penuh cinta,

Mariska Lubis

1 Oktober 2013

About bilikml

Saya adalah saya yang memiliki cinta untuk semua. Biarlah semua yang saya tulis menjadi ibadah, hormat, dan pengabdian kepada Yang Maha Kuasa agar berguna dan bermanfaat bagi semua yang saya cintai, Indonesia. Long lasting love for lust.... Freedom toward never ending and never last happiness.
This entry was posted in Jiwa Merdeka, Perubahan and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to Kata Bukanlah Sampah!

  1. Miftah says:

    I enjoyed ur writing, mengalir, kaya, dan bertujuan.

    Regards n respect,
    miphz

Leave a comment