Wong Edan, Jaman Edan

“Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling waspada.” (Mengalami jaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tak tahan, kalau tidak ikut menggila, tidak akan mendapat bagian, akhirnya mungkin kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sadar dan bahagia.) – Serat Kalatidha bait 7, Pujangga Ranggawarsita 1802-1873M.

Sebelum Pemilu tahun 2014, saya masih mencoba berpikir positif tentang Indonesia di mana ada harapan yang bisa diandalkan yaitu manusia-manusia yang saya pikir idealis, objektif, dan rasional. Namun apa mau dikata, apa yang ditulis oleh Ranggawarsita dua abad tahun lalu ternyata terbukti benar adanya. Indonesia pada Pemilu 2014 telah menguak kebenaran yang selama ini disembunyikan dan tersembunyi.

Persis seperti yang diuraikan oleh Ranggawarsita dalam Serat Sabdajati yang mengatakan, “Bilamana sampai terjerumus dalam perbuatan salah, hatinya menjadi tempat iblis, masuk ke alam yang berbahaya, menyebabkan sulit untuk dapat melihat jelas ketenangan hati, akhirnya mabok lalu lengah. Lalu tidak tergerak oleh tuntunan keselamatan, maka tekad keselamatannya lari tunggang langgang menjauhinya, kemudian dia dikerumuni oleh perbuatan kotor, hingga lupa kepada kasih sayant Tuhan, akhirnya mudah digunting-gunting seperti kardus. Meskipun demikian orang yang melihatnya, silau matanya seperti kemasukan pasir, bahkan banyak orang yang menyembahnya, karena orang itu dikira malaikat Jibril, yang diutus oleh Tuhan”.

Apa yang diuraikan oleh Jayabaya tentang jaman edan atau Kalabendu pun terbukti benar terjadi di Indonesia saat ini. “Barang jahat diangkat-angkat. Barang suci dibenci. Banyak orangutan HANYA mementingkan uang. Lupa jati kemanusiaan. Lupa hikmah kebaikan. Lupa sanak saudara. Keluarga saling curiga. Kawan menjadi Lawan. Orang yang baik justru tersisih. Lebih mengutamakan menipu. Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka. Banyak orangutan berdagang ilmu. Banyak orangutan mengaku Diri. Di luar putih di dalam jingga. Mengaku suci tapi palsu belaka. Banyak tipu muslihat. Orang salat dipandang benar. Pengjianat nikmat. Durjana semakin sempurna. Orang jahat naik pangkat,…”.

Sedih menerima fakta dan kenyataan ini, apalagi hati dan pikiran yang sudah begitu keras dan terbelenggu sangat sulit untuk mau menerima dan merendah. Apapun yang dianggap berbeda dan tidak berpihak pasti salah dan seperti harus  dibinasakan tanpa ampun. Lupa bahwa untuk bisa melangkah maju ke depan dan memiliki kehidupan yang lebih baik justru adalah dengan merendahkan hati dan pikiran diri sendiri, bukan dengan menunjuk jari dan menghunus begitu saja. Sekolah tinggi tidak menjamin kepintaran, taat ibadah dan berpakaian tertup tak menjamin kebersihan diri, usia dan pengalaman tak menjamin kedewasaan, uang dan kedudukan tak menjamim kesadaran atas posisi dan tempatnya, bukankah seharusnya ini disadari?

Mau memberikan masukan dari sudut pandang yang lain saja sulit, ya?! Belum apa-apa sudah diberondong dengan makian dan hujatan. Herannya, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang selama ini selalu mengaku sangat beriman pada Tuhan dan rajin sekali mengutip ayat-ayat suci. Bahkan yang berpenampilan malaikat selama ini pun bisa mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Menjadi bukti bahwa memang tidak mudah menjadi manusia, lebih mudah menjadi binatang yang 99 persen menguasai manusia.

Berteriak-teriak soal kebebasan dan demokrasi tetapi mengurung orang yang menuntut hak konstitusionalnya. Menertawai, menghina, mengejek, memaki, dan terus dituding-tuding. Benci dengan orang kaya tetapi mau melakukan apa saja untuk menjadi kaya, bahkan dengan merendahkan dirinya sendiri. Dendam dan sirik begitu jelas menguasai meski alasan dan pembenaran yang seolah rasional terus diumbar. Menghina orang yang belajar dengan teriakan dan gonggongan yang  sangat keras, tanpa sadar menunjukkan apa dan siapa diri yang sebenarnya. Bercermin pun tak berani, sudah terus mengepung untuk menguasai. Sungguh sangat kasihan!

Saya sangat percaya bahwa segala sesuatunya adalah kehendak Allah, dan semua memang ada masa dan waktunya. Barangkali memang jaman edan dan kehancuran saat ini adalah sudah waktunya. Ada waktunya gurun itu diterjang badai hingga pasir-pasirnya beterbangan tak tentu arah dan tak tahu harus berbuat apa. Namun, ketika badai itu reda, selalu ada kehidupan baru yang lebih jernih dan bersih.

Yang terpenting adalah selalu menjaga hati dan pikiran agar tidak pernah terbawa oleh arus yang menenggelamkan, tetap membuka mata dan berpatokan pada langit yang tak pernah menyesatkan meski banyak  lampu yang lebih bersinar terang.

“Orang hidup tentulah banyak berebut kebanggaan, tak mau alah dan bergeser sedikit pun, tetapi siapa yang memaksa unggul, akhirnya menjadi hina. Siapakah tahu kembang tepus? Dia dapat menuju hati, segala sesuatu sebenarnya tak jauh dari badan sendiri, jika disertai awas dan ingat kepada Tuhan, selamatlah sampai pada tujuan.” – Ranggawarsita

Semoga kita masih ingat! Lebih baik dibilang gila di jaman edan dan kehancuran dengan terus berusaha melihat segala sesuatunya dari sudut pandang berbeda daripada ikutan edan dengan ikut-ikutan kebanyakan orang saat ini.

 

Salam hangat selalu,

 

Mariska Lubis

16 Agustus 2014

About bilikml

Saya adalah saya yang memiliki cinta untuk semua. Biarlah semua yang saya tulis menjadi ibadah, hormat, dan pengabdian kepada Yang Maha Kuasa agar berguna dan bermanfaat bagi semua yang saya cintai, Indonesia. Long lasting love for lust.... Freedom toward never ending and never last happiness.
This entry was posted in Politik and tagged , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to Wong Edan, Jaman Edan

  1. Pingback: Dilema MA dan MK, Rakyat Taruhannya | Bilik ML

Leave a comment